CERITA MISTERI .Menyusuri “Kota Tua” Barus
Satu Hari cukup singkat waktu yang
dilalui untuk mengetahui lebih dekat cerita tentang “Bandar Tua” (Kota
Tua – red) Barus di Kabupaten Tapanuli Tengah yang kaya dengan situs
makam-makam kuno tempat beristirahat-nya jasad para Aulia’ yang konon
kabarnya sebagai penyebar pertama Agama Islam di Nusantara.
Kedatangan Penulis bersama rombongan
jurnalis asal Kota Tebingtinggi ke daerah yang konon dulunya dikenal
para pedagang dari seantero jagad dengan sebutan “Negeri Fanshury” ini
terasa bagai berpacu dengan waktu. Bagaimana tidak? Minimnya fasilitas
dan sempitnya waktu mengharuskan rombongan 14 jurnalist kota Lemang yang
tiba di Barus pada pukul 10.00 Wib hari Jum’at pekan lalu harus segera
merampungkan perjalanan liputan pada pukul 15.00 Wib sore, mengingat
pada hari itu juga rombongan harus segera bertolak pulang. Cukup singkat
memang, namun bekal informasi yang ingin diungkap bagai tak kunjung
habis.
Cerita tentang “Bandar Tua Barus“
ternyata tidak sebatas pada kemasyuran kapur barus, kemenyan dan
rempah-rempahnya saja. Menurut beberapa catatan ahli sejarah, “Kota Tua
Barus” yang telah dikenal ribuan tahun sebelum Masehi ini sebagai
“Bandar Perdagangan” terbesar dikawasan Samudera Hindia, tercatat bahwa
kapur barus yang berasal dari daerah ini telah menjadi rebutan para
pedagang baik dari belahan benua Eropah dan Afrika, sebab buktinya,
(masih menurut catatan sejarah dan cerita) bahwasan-nya kapur barus yang
berasal dari daerah ini telah dipergunakan kerajaan Mesir untuk
membalsem jasad Raja Fir’aun.
Sementara itu, hasil pengamatan para
sejarawan dan catatan para pemerhati sejarah yang melakukan penelitian
di negeri tercinta nusantara sendiri menyatakan, bahwa BARUS merupakan
kota tertua di Sumatera Utara dan kemungkinan besar daerah ini juga
merupakan kota tertua di Nusantara, di daerah ini masih terdapat
bukti-bukti sejarah dan legenda yang memperkuat argumentasi itu.
“Kota Tua Barus” yang dimaksud bisa jadi
bukan yang kini dikenal sebagai Kecamatan Barus – Kabupaten Tapanuli
Tengah dengan luas lebih kurang 53.766 km2 berjarak lebih kurang 417 km
dari Kota Medan, akan tetapi adalah Kota Pelabuhan yang pernah
disinggahi para pedagang-pedagang manca negara yang berasal dari Benua
Afrika, Asia dan Eropah pada masa lampau.
“Barus adalah daerah awal masuknya agama
Islam di Indonesia”, argumentasi yang diciptakan para pengamat sejarah
itu kemungkinan benar adanya, hal ini bisa dilihat berdasarkan bukti
yang ada ditambah lagi dengan masih terdapatnya situs makam – makam kuno
bergaya Islami yang masih utuh hingga kini, meski terkesan kurang
terawat dan diperhatikan, sepertinya Kota Barus masih banyak lagi
menyimpan bukti-bukti sejarah yang belum terjamah para peneliti dan
pemerintah.
Barus yang sekarang ini (Kecamatan)
tepatnya disebuah wilayah pada jalur darat menuju Kecamatan Sorkam
ataupun Pakkat, Maduamas hingga Singkil (Aceh), terdapat beberapa
makam-makam kuno, dan peninggalan yang tidak mungkin disebutkan
satu-persatu.
Letak makam-makam kuno tersebut, beberapa diantaranya temukan di lereng-lereng gunung atau bukit-bukit, mulai dari Desa Patupangan sampai ke arah Barat yakni Desa Lobutua. Warga setempat lebih mengenal makam-makam ini dan makam lainnya dengan sebutan makam “Aulia 44 ” (empat puluh empat), sayangnya tidak banyak catatan tentang keberadaan para aulia tersebut yang tertinggal untuk dijadikan pegangan bagi generasi saat ini.
Letak makam-makam kuno tersebut, beberapa diantaranya temukan di lereng-lereng gunung atau bukit-bukit, mulai dari Desa Patupangan sampai ke arah Barat yakni Desa Lobutua. Warga setempat lebih mengenal makam-makam ini dan makam lainnya dengan sebutan makam “Aulia 44 ” (empat puluh empat), sayangnya tidak banyak catatan tentang keberadaan para aulia tersebut yang tertinggal untuk dijadikan pegangan bagi generasi saat ini.
Hanya catatan-catatan kecil yang terdapat
pada batu nisan makam – makam “Aulia” yang dijadikan pedoman bagi
penziarah, tulisan beraksara Arab yang berisikan potongan ayat suci
dalam Al-Qur’an pada batu nisan makam-makam kuno tersebut sering
dianggap sebagai tempat yang memiliki nilai religius tinggi khususnya
bagi penganut Agama Islam di kawasan itu maupun yang datang dari luar
daerah.
Tidak hanya masyarakat Tapanuli Tengah,
masyarakat dari luar kawasan ini bahkan dari luar negeri khususnya
penganut Agama Islam, sengaja datang ke kota ini, mulai dari sekedar
melihat makam kuno, hingga berniat berziarah bahkan ada yang “berkaul“
(memasang niat / harapan tertentu – red) meski para orang-orang tua
disana sering mengingatkan bahwa makam tersebut bukan tempat keramat
yang harus dipuja.
Situs Makam-Makam Kuno Sebagai Bukti Sejarah.Makam Papan Tinggi.
Tidak mudah untuk bisa mencapai ke lokasi
pemakaman yang terletak di Desa Pananggahan Kecamatan Barus ini,
dinamakan MAKAM PAPAN TINGGI sebab berada dipuncak sebuah bukit yang
tingginya lebih kurang 200 meter dari atas permukaan laut, sesuai dengan
namanya, Situs Makam Papan Tinggi yang memiliki rincian prasasti
lumayan lengkap ini dianggap lebih banyak menyimpan “misteri” dan
menyita banyak perhatian serta menarik minat untuk di kunjungi para
penziarah, makam ini merupakan satu diantara makam “Aulia 44”.
Sebagaimana disampaikan Tajuddin Batubara
(59) selaku Tokoh Masyarakat yang juga Pemandu Wisata di Kecamatan
Barus, konon gunung tersebut dahulunya adalah tempat masyarakat
mengambil papan, jadi mengambil papan ke Gunung Tinggi, yang lama
kelamaan namanya berubah menjadi Makam Papan Tinggi.
Para sejarawan berpendapat bahwa yang
dimakamkan disini adalah Syeikh Al-Alam Almuchtazam Syeikh Machmud
Qadasjahlahu Rohanu Alamatarach al Yamani yang lebih dikenal dengan
sebutan Makam Syech Machmud, beliau berasal dari Hadratul Maut Arab.
Menurut seorang pemerhati sejarah (Alm) Dada Meuraxa, Syeikh Machmud
wafat diperkirakan pada tahun “Dal Mim” atau 44 Hijriyah, pendapat ini
didukung oleh ulama pengarang sejarah yakni Abdullah Abbas Nasution, dan
disesuaikan dengan tulisan pada batu nisan yang ada. Disamping itu juga
pada batu nisan terdapat tulisan ayat-ayat Al-Quran dan hadist Nabi
Muhamad SAW.
Ayat tersebut berbunyi “Fakullu Syaiun
Halikun Illa Wajhah” (Maka tiap sesuatu itu binasa selain Allah) dan
hadist Nabi SAW yang berbunyi “Qolannabiyu SAW, Al-Mu’minu Haiyyun
Fiddaroini“ (Berkata Nabi SAW, orang yang beriman hidup pada dua
negeri).
Makam Papan Tinggi ini, merupakan makam
terpanjang dan mempunyai batu nisan yang besar dan tinggi, situs makam
kuno yang satu ini dianggap sebagai makam keramat dan selalu diziarahi
orang. Tidak jarang penduduk sekitar Barus dan penziarah yang datang
dari luar daerah mengkaitkan cerita mistis yang selama ini berkembang
dari mulut ke mulut, bahwa setiap keinginan penziarah kemungkinan akan
terkabul bila membisikkan permintaan atau keinginannya di batu nisan
makam ini, dan bila permintaan tersebut telah disampaikan, penziarah
harus menyimpul selembar daun lalang di batang pohon yang ada di sekitar
makam tersebut. Bila suatu saat permintaannya terkabul, maka penziarah
dimaksud harus datang kembali ke makam ini untuk melepaskan simpul daun
lalang dan membawanya pulang.
Anggapan bahwa makam ini adalah “Makam
Keramat“, sekalangan warga BARUS justru menganggap ini suatu hal yang
mustahil dan tidak perlu dikembangkan, karena dikhawatirkan akan
menimbulkan kesan yang kurang baik terhadap “kesucian“ makam itu.
Panjang makam papan tinggi diperkirakan
sekitar 7 meter lebih, dan didalam lokasi makam yang seluruh tepiannya
berpagar besi ini juga terdapat 5 makam lain yang menurut ceritanya
makam – makam itu adalah makam para pengikutnya. Hanya saja panjang
makam ini biasa-biasa saja sebagaimana layaknya makam lain pada umumnya.
Ditumpuan arah kaki makam tersebut
terdapat sebuah guci (tempayan). Menurut ceritanya bahwa guci tersebut
mempunyai keajaiban yakni tetap berisi air walaupun pada musim kemarau
panjang dan airnya tidak melimpah walau hujan lebat. Guci asli tersebut
kini sudah rusak dan terbuang, sedang guci yang sekarang adalah guci
tiruan sumbangan dari salah seorang penziarah.
Untuk mencapai (berziarah) ke lokasi
makam ini, sebelumnya di kaki bukit terdapat pancuran air untuk
membersihkan diri atau mengambil air wudhuk. Setelah itu, kita menaiki
tangga yang sudah dibuat secara permanen sebanyak lebih kurang 710 anak
tangga atau sekitar 145 meter.
Diperlukan niat yang ikhlas untuk
mengunjungi makam ini agar bisa mencapai puncak gunung tersebut,
disamping itu kekuatan fisik juga harus benar-benar prima serta tehnik
khusus saat menaiki tangga sangat diperlukan, sebab tangga-tangga
tersebut sangat curam dan terjal.
Namum setelah sampai diatas (dilokasi
makam) para penziarah umumnya mengaku ada rasa kepuasan tersendiri.
Apalagi setelah usai memanjatkan doa di hadapan makam tersebut, Makam
Papan Tinggi ini seakan menyimpan keajaiban yang tak bisa dicerna oleh
akal sehat.
Dari atas Gunung Papan Tinggi ini kita
bisa melihat, perkampungan dan desa yang ada dibawahnya, bentangan garis
pantai yang terhampar kearah laut lepas Samudera Hindia merupakan
pemandangan yang sangat menakjubkan bagi para pengunjung yang bisa
mencapai keatas bukit ini..
Makam Mahligai.
Di Desa Dakka Kecamatan Barus, terdapat
makam-makam kuno lainnya yakni Makam Mahligai, lokasi pemakaman ini
luasnya sekitar 3 Ha dan letaknya juga diatas perbukitan. Konon nama
makam ini diambil dari kata “Mahligai” yang artinya sama dengan “istana
kecil” di zaman dahulu. Letaknya tidak jauh dari lokasi Makam Papan
Tinggi hanya berkisar 3 km.
Makam Mahligai (Istana Kecil) ini,
didirikan oleh Tuan Syech Siddiq, setelah dirinya mangkat jenazahnya
juga dikebumikan di kompleks pemakaman ini. Terdapat banyak makam dengan
batu nisan yang besar dan kecil dengan ukiran bergaya arab, bahkan
mengingatkan kita akan bentuk-bentuk makam para Syekh di Pulau Jawa.
Salah satu makam di kompleks ini terdapat
sebuah nisan yang bertuliskan Tuan Syech Rukunuddin, wafat malam 13
Syafar, Tahun 48 Hijriah (48 H) abad ke 7 M, dalam usia 102 Tahun, 2
Bulan, 10 Hari atau Ha Min Hijratun Nabi. Batu nisan Syech ini hanya
tinggal sebelah yakni hanya bagian kepala saja sedangkan yang satunya
lagi kini berada di Museum Propinsi Sumatera Utara, Medan . Menurut
Tajuddin Batubara, pada tahun 1963, salah satu nisannya di bawa ke Medan
dalam rangka seminar masuknya Agama Islam di Indonesia.
Dari berbagai ukiran dibatu nisan
tersebut, banyak tulisannya yang sudah tidak terbaca, aksara Arab kuno,
aksara Parsi dan lain-lainnya bercampur baur di nisan setiap makam.
Masyarakat Islam Barus pada umumya berkeyakinan bahwa pada sekira abad
ke-7 M, Agama Islam telah ada di “Kota Tua Barus” dan sekaligus
berpendapat bahwa di Barus inilah awal mulanya Islam masuk ke Indonesia.
Tidak ada bukti yang dapat memastikan hal
itu, Karena catatan dan riwayat hidup para “Aulia” yang ada di makam
ini pun tidak diketahui pasti, hanya didasari cerita ke cerita dan
catatan kecil pemerhati sejarah, namun pastinya, menurut ceritanya
kedatangan Syech ini ke Barus awal mulanya berdagang. Disamping itu
mereka juga mengembangkan Agama Tauhid sebagai faham ber-Tuhan kepada
Allah SWT. Konon buku dan tulisan tentang ke-tauhid-an.yang mereka bawa
masih banyak berupa ayat Makkiyah (ayat suci Al-Qur’an yang turun
sebelum Nabi SAW melakukan Hijrah ke Madinah – red).
Di makam Mahligai ini juga terdapat makam
Syech Imam Khotil Muazamsyah Biktibai Syech Samsuddin Min Biladil
Fansury (dari negeri Fansyuri) dan Syech Zainal Abidin, Syech Ilyas,
Syech Samsuddin, serta makam-makam lainnya yang juga disebut-sebut
sebagai pengikutnya.
Dari cerita dan cuplikan catatan para
pemerhati sejarah tersebut memperkuat anggapan dan keyakinan bahwa
daerah bukit-bukit itu mulai dari Desa Lobu Tua yang mula-mula menjurus
ke arah Utara, kemudian kearah Selatan sampai ke ujung bukit tempat
Makam Mahligai ini, kemudian terus ke Timur sampai Desa Patupangan
melalui Desa Pananggahan merupakan lintasan kedatangan dan tempat
pengembangan ajaran Tauhid yang mereka bawa serta dijadikan kediaman
para Syech tersebut.
Makam Tuan Batu Badan.
“Tuan Batu Badan” demikian sebutan
masyarakat di Barus pada salah satu pemilik makam kuno disana, Padahal
nama aslinya adalah Soltan Ibrahim Syah Bin Soltan Muhammadsyah, berasal
dari kerajaan Melayu Inderapura. Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa
beliau berasal dari Tarusan Sumatera Barat. Riwayatnya berkaitan dengan
cerita orang Barus diserang “Todak” (sejenis ikan yang berparuh runcing
dan panjang).
Makam-makam tua di kompleks perkuburan
ini menurut tradisi di Barus, sejak dahulu disebut “Aulia 44 Negeri
Barus” yaitu makam-makam yang dianggap keramat. Makam Tuan Syech Badan
Batu ini terdapat di Simpang Tiga Bukit Desa Patu Pangan, berdekatan
dengan Makam Papan Tinggi dan berjarak hanya berkisar 300 meter.
Diatas makam ini, ada batu papan yang
memanjang dari arah kepala hingga ke kaki, dengan kata lain panjangnya
kuburan tersebut diatasnya ada batu untuk menghimpit makam tersebut.
Menurut keterangan penjaga makam, Aminul
Tanjung (39) yang bekerja disana sejak tahun 1991 mengatakan, bahwa
makam Ibrahim Syah wafat pada tahun 825 Hijrah, merupakan raja pertama
di Barus. Menurut ceritanya, beliau wafat karena dibunuh musuhnya dan
didalam makam tersebut sengaja dihimpitkan sebuah batu supaya jangan di
bongkar orang usil dan iseng.
Ada “hikayat“ di kalangan masyarakat
disana yang mengatakan bahwa di makam itu tersimpan barang berharga dan
ada juga yang mengatakan kalau di makam tersebut hanya menyimpan badan
Syech tersebut, sedang kepalanya disimpan di tempat lain, sedangkan
cerita lain yang lebih membuat merinding bulu kuduk, mengatakan bahwa,
bila kepala dan badannya bersatu, Tuan Syeck Badan Batu akan hidup
kembali, walaupun telah dinyatakan wafat sejak ratusan tahun yang lalu.
Konon cerita yang hingga sekarang masih
ada, Tuan Syech ini dibunuh musuhnya dengan cara dipenggal, akan tetapi
jasadnya tidak mati, walaupun kepalanya sudah terpisah dengan badannya,
kepalanya di bawa ke Kota Raja (Aceh). Oleh “orang pintar“ di negeri
tersebut pada masa itu menganjurkan agar kepala Tuan Syech Batu Badan
dibawa kembali ke Barus, bila kepala tersebut di kuburkan di Kuta Raja,
maka negeri tersebut akan mengalami banjir besar, karena berbagai
pertimbangan akhirnya kepala Tuan Syech Batu Badan di bawa kembali ke
Barus, namun ketika di dekatkan antara badan dan kepala saat akan
disatukan kembali, menurut ceritanya Tuan Syech Batu Badan dikatakan
mereka hidup kembali.
Berdasarkan keyakinan itu, musuh yang
memenggalnya kemudian memisahkan badan dan kepala Soltan Ibrahim Syah
Bin Soltan Muhammadsyah dengan cara menghimpitkan sepotong batu panjang
didalam makam ini guna memisahkan kepala dan badan jenazah Syech ini,
akhirnya lama – kelamaan cerita itu melahirkan sebutan bagi makam ini
dengan nama “Makam Syech Batu Badan“.
Makam Tuan Syech Machdun.
Tak jauh dari makam Tuan Syech Batu
Badan, sekitar 500 meter kearah pantai menuju pusat Kecamatan Barus
terdapat makam Tuan Syekh Machdun, masih dikawasan Desa Patu Pangan.
Untuk menuju makam ini kita juga harus menaiki sekitar 80 anak tangga.
Di makam ini juga terdapat makam lainnya yang disebut-sebut sebagai para
pengikutnya.
Seperti halnya makam-makam kuno lainnya,
Makam Tuan Syech Machdun juga memiliki kisah tersendiri, namun catatan
untuk memperkuat keberadaannya tidak lengkap, demikian juga dengan
makam-makam lainnya seperti makam Tuan Kayu Bungo, Makam Tuan Kayu
Anang, Makam Tuan Kayu Api-Api, Makam Tuan Kayu Arang di desa Kedai
Gedang, Makam Tuan Pulau Pane di desa Sosor Gadong, Makam Tuan Kampung
Solok di desa Kampung Solok.
Sejumlah nama makam-makam yang disebutkan
diatas merupakan sebahagian dari situs makam-makam kuno di Kota Tua
Barus yang sering di kunjungi dan masih bernuansakan ke Islaman, masih
banyak lagi makam-makam kuno sebagai bukti sejarah masuknya Islam ke
Indonesia melalui Kota Barus yang belum sempat terkunjungi, selain itu
juga masih ada situs sejarah lainnya yang belum tergali di kawasan Barus
hingga daerah sekitarnya, namun beberapa situs makam kuno yang
disebutkan diatas kiranya cukup mewakili argumentasi bahwa “Barus adalah
daerah awal masuknya Islam di Indonesia”.
Sebagaimana harapan warga Kecamatan Barus
Tapanuli Tengah khususnya, kita sebagai warga masyarakat Sumatera Utara
pada umumnya juga berharap, agar sedikit mau peduli tentang keberadaan
makam para “Aulia“ yang kini terkubur ditanah Barus.
Diharapkan juga pemerintah daerah
setempat agar lebih membuka mata dalam menggali, mencatat serta
meluruskan sejarah bahwa masuknya Agama Islam ke Indonesia melalui Kota
Tua Barus, sebab disamping sebagai bukti sejarah yang harus dilestarikan
keberadaannya, situs makam-makam kuno ini juga dapat dijadikan sebagai
objek wisata yang dapat menambah pendapatan daerah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar