Warung Kopi Tempat Untuk"NGOPI"(NGObrol PemIlu) ?
Ngompol tidak hanya kerap
dilakukan oleh anak kecil pada saat tidur atau pada saat ia bermain,
ngompol juga kerap dilakukan oleh para lelaki dewasa. Tentunya dalam hal
ini, ngompol disini bukanlah makna sebenarnya dalam kamus kehidupan
kita sehari-hari melainkan sebuah singkatan dari Ngomong Politik.
Dikotaku ini para pria dewasa yang suka duduk di warung kopi tidak hanya sekedar menikmati tst (teh susu telur)
dan menu lain yang tersedia didalamnya. Dengan disediakan nya koran
sebagai bahan bacaan membuat mereka yang bukan dari kalangan akademisi
menjadi pintar dan melek akan informasi terbaru di negeri ini. Bukankah
yang namanya koran selalu menyajikan berita politik baik dari negeri ini
maupun dari negeri orang yang dikemas dengan sajian-sajian panasnya.
Bukan koran namanya kalau tidak menyajikan berita politik terbaru.
Di warung kopi para pria dewasa ini
cenderung lebih pintar menyikapi kondisi yang terjadi di negeri ini
meskipun sebagian orang menganggap mereka hanya jago ngomong tanpa
mengerti seluk beluk suatu permasalahan itu secara mendasar. Kalau kita
lihat secara luas, bukankah warung kopi tempat yang nyaman untuk
membicarakan suatu permasalahan?. Tak jarang para pengamat (benar-benar
pengamat) kerap berbincang di warung kopi, mereka bukanlah pengamat yang
sekedar mengamati melainkan mereka adalah orang-orang yang memang
memahami, meskipun mereka tidak duduk di warung kopi pinggiran.
Mereka bukan pemalas, mereka tidak bodoh, bahkan mereka lebih mengerti, hanya saja keberadaan mereka yang terasingkan.
Mereka tak ingin disebut “bodoh” atau
ingin “dibodohi” oleh para petinggi negeri, mereka mampu menyikapi semua
yang terjadi dari A-Z, dari yang kecil sampai yang besar. Pemikiran
picik yang melihat dari bawah sampai atas
sepertinya memang harus benar-benar dimusnahkan. Tidak ada lagi mereka
yang disebut kaum pinggiran, kaum kecil dan apalah itu. Mereka yang
duduk di warung kopi juga memiliki kapasitas sebenarnya, hanya saja
garis kehidupan berkata lain. Kalau saja mereka (para pelaku warung
kopi) berkesempatan untuk berbicara langsung didepan para petinggi,
mungkin semua argumen mereka masuk akal dan bisa diterima dengan akal.
Nasiblah yang membuat mereka sulit untuk
mengungkapkan semua isi hati dan argumen mereka didepan para petinggi
negeri. Alhasil semua aspirasi mereka, unek-unek mereka hanya terbuang
di alam mimpi. Orang-orang yang terpilih untuk menyalurkan aspirasi
mereka (rakyat kecil) pun sepertinya tidak peka akan hal ini. Mereka
“turun ke jalan” hanya pada waktu-waktu tertentu dimana mereka ingin
kembali duduk di kursi empuk itu. Datang ke warung kopi hanya untuk
membagikan kartu nama, sedikit pura-pura mendengar keluhan biar dibilang merakyat.
Inilah dunia politik, tidak akan pernah
habis untuk dibahas di warung kopi dan sepertinya akan terus menjadi
bahan pembahasan sembari mengisi waktu. Dikatakan sok tau padahal mereka
memang tau, dikatakan sok mengerti padahal mereka memang mengerti,
dikatakan sok pintar justru mereka lebih pintar. Warung kopi sepertinya
hanya akan menjadi saksi mati dari kepintaran mereka, dan akan menyimpan
semua kata-kata yang dibahas oleh mereka.(TIM NGOPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar