Jumat, 09 Maret 2012

WARKOP UNTUK "NGOPI" PILKADA ?

Warung Kopi Tempat Untuk"NGOPI"(NGObrol PemIlu) ?

Ngompol tidak hanya kerap dilakukan oleh anak kecil pada saat tidur atau pada saat ia bermain, ngompol juga kerap dilakukan oleh para lelaki dewasa. Tentunya dalam hal ini, ngompol disini bukanlah makna sebenarnya dalam kamus kehidupan kita sehari-hari melainkan sebuah singkatan dari Ngomong Politik. Dikotaku ini para pria dewasa yang suka duduk di warung kopi tidak hanya sekedar menikmati tst (teh susu telur) dan menu lain yang tersedia didalamnya. Dengan disediakan nya koran sebagai bahan bacaan membuat mereka yang bukan dari kalangan akademisi menjadi pintar dan melek akan informasi terbaru di negeri ini. Bukankah yang namanya koran selalu menyajikan berita politik baik dari negeri ini maupun dari negeri orang yang dikemas dengan sajian-sajian panasnya. Bukan koran namanya kalau tidak menyajikan berita politik terbaru.
ilustrasi sebuah warung kopi


Di warung kopi para pria dewasa ini cenderung lebih pintar menyikapi kondisi yang terjadi di negeri ini meskipun sebagian orang menganggap mereka hanya jago ngomong tanpa mengerti seluk beluk suatu permasalahan itu secara mendasar. Kalau kita lihat secara luas, bukankah warung kopi tempat yang nyaman untuk membicarakan suatu permasalahan?. Tak jarang para pengamat (benar-benar pengamat) kerap berbincang di warung kopi, mereka bukanlah pengamat yang sekedar mengamati melainkan mereka adalah orang-orang yang memang memahami, meskipun mereka tidak duduk di warung kopi pinggiran.
Mereka bukan pemalas, mereka tidak bodoh, bahkan  mereka lebih mengerti, hanya saja keberadaan mereka yang terasingkan.
Mereka tak ingin disebut “bodoh” atau ingin “dibodohi” oleh para petinggi negeri, mereka mampu menyikapi semua yang terjadi dari A-Z, dari yang kecil sampai yang besar. Pemikiran picik yang melihat dari bawah sampai atas sepertinya memang harus benar-benar dimusnahkan. Tidak ada lagi mereka yang disebut kaum pinggiran, kaum kecil dan apalah itu. Mereka yang duduk di warung kopi juga memiliki kapasitas sebenarnya, hanya saja garis kehidupan berkata lain. Kalau saja mereka (para pelaku warung kopi) berkesempatan untuk berbicara langsung didepan para petinggi, mungkin semua argumen mereka masuk akal dan bisa diterima dengan akal.
Nasiblah yang membuat mereka sulit untuk mengungkapkan semua isi hati dan argumen mereka didepan para petinggi negeri. Alhasil semua aspirasi mereka, unek-unek mereka hanya terbuang di alam mimpi. Orang-orang yang terpilih untuk menyalurkan aspirasi mereka (rakyat kecil) pun sepertinya tidak peka akan hal ini. Mereka “turun ke jalan” hanya pada waktu-waktu tertentu dimana mereka ingin kembali duduk di kursi empuk itu. Datang ke warung kopi hanya untuk membagikan kartu nama, sedikit pura-pura mendengar keluhan biar dibilang merakyat.
Inilah dunia politik, tidak akan pernah habis untuk dibahas di warung kopi dan sepertinya akan terus menjadi bahan pembahasan sembari mengisi waktu. Dikatakan sok tau padahal mereka memang tau, dikatakan sok mengerti padahal mereka memang mengerti, dikatakan sok pintar justru mereka lebih pintar. Warung kopi sepertinya hanya akan menjadi saksi mati dari kepintaran mereka, dan akan menyimpan semua kata-kata yang dibahas oleh mereka.(TIM NGOPI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar