Senin, 27 Januari 2014

INALUM DAN MANAGEMEN


Inalum dan Manajemen BUMN
Oleh Effnu Subiyanto



Ketika diambil-alih oleh Pemerintah Indonesia secara penuh pada akhir Oktober lalu, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) berada pada posisi yang sangat menguntungkan, kondisi fasilitas dan peralatan digunakan pun sangat prima. Apakah, ke depan, nasionalisasi akan membawa berkah atau justru sebaliknya?


Jepang adalah negara dengan kultur kuat yang diterapkannya secara baik dalam dunia usaha. Mereka telah menunjukkan itu dalam pengelolaan aluminium selama hampir 40 tahun. Di bawah konsorsium Nippon Asahan Alumunium (NAA), mereka telah meninggalkan jejak yang baik dalam pengelolaan usaha. Diakui atau tidak, pihak Nippon telah memberikan dasar-dasar teknologi pengolahan aluminium dengan baik. Jepang pula yang memberikan modal, sumber daya manusia, dan teknologi dan mereka pun berjasa dalam membangun pusat listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas raksasa 604 MW.

Jepang tentu saja membutuhkan respek sebagai representasi negara yang konsisten menjaga budaya ketimuran sebagaimana ikon budaya yang diklaim negara Indonesia. Jepang meninggalkan Inalum secara terhormat, dan Inalum yang diwariskannya memang bukan pabrik kelas dua.

Manajemen Jepang
Pada mulanya, tahun 1975, sedikit sekali, atau bisa dikatakan tidak ada yang menyadari bahwa bahan tambang aluminium memiliki nilai strategis untuk masa depan. Itulah makanya konsesi eksplorasi bahan ini di Kuala Tanjung, Sumatera Utara, diserahkan ke konsorsium bisnis Jepang, yang memulai operasionalnya pada 1 Januari 1976.

Kepemilikan Indonesia atas saham Inalum adalah sebesar 41,13%, sedangkan Jepang menguasai 58,87%. Saham bagian Jepang ini dikelola Konsorsium Nippon Asahan Alumunium (NAA) yang beranggotakan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sebagai wakil pemerintah Jepang. Sisanya 8,88% dimiliki oleh kelompok konsorsium yang terdiri atas 12 perusahaan swasta nasional Jepang. Konsorsium tersebut adalah Sumitomo Chemical Company Ltd, Sumitomo Shoji Kaisha Ltd, Nippon Light Metal Company Ltd, C Itoh & Co, Ltd, Nissho Iwai Co, Ltd, Nichimen Co, Ltd, Showa Denko KK., Marubeni Corporation, Mitsubishi Chemical Industries Ltd, Mitsubishi Corporation, Mitsui Aluminium Co, Ltd, dan Mitsui & Co, Ltd.

Majunya manajemen Jepang yang terkenal di dunia dengan kaizen membawa Inalum sampai pada posisi sekarang. Jepang mampu membuat harmonisasi potensi alam dari air terjun Asahan sebagai pemasok listrik Inalum.

Kekuatan listrik Asahan yang dibangun NAA malah mencapai 604 MW sehingga membuat biaya pokok produksi (BPP) Inalum hanya sepertiga dari rata-rata smelter aluminium dunia. Jika tidak memiliki Asahan, BPP Inalum dari listrik akan menyerap Rp 1.000 per kWh namun karena memiliki PLTA sendiri maka biaya BPP listrik Inalum hanya Rp 300 per kWh.

Biaya pokok produksi termurah adalah kunci utama memenangkan kompetisi pasar dan Inalum memang memiliki itu. Tidak heran kapasitas Inalum 250 ribu ton alumunium per tahun digaransi pasti terserap pasar, di samping karena demand produk ini memang luar biasa besar, tidak hanya di Indonesia yang kini membutuhkan 450 ribu ton, tapi juga di dunia.

Meskipun peluang meraih keuntungan yang dapat diperoleh NAA cukup besar – seiring tren permintaan produk aluminium saat ini dan ke depan – Jepang tidak serakah untuk dengan serta merta mengembangkan pabriknya lebih besar. Yang dipikirkan manajemen Jepang adalah lingkungan wilayah Kuala Tanjung sendiri. Benefit memang penting, tapi ekosistem Kuala Tanjung juga benar-benar menjadi perhatian utama.

Itulah makanya Inalum sehat “luar-dalam”, sehat di awal dan sehat pula ketika diserahkan sepenuhnya ke Pemerintah Indonesia pada akhir Oktober lalu. Kinerja bisnis dan keuangan PT Inalum, jelang diserahkan pengelolalannya ke RI sangat sehat dan mempunyai prospek yang menguntungkan. Utang investasi telah lunas sejak 2011, dan mampu meraih laba bersih US$ 178 juta sejak 2004-2012 atau rata-rata US$ 97,5 juta per tahun, serta demand domestik yang jauh lebih besar dari produksi PT Inalum.

Lebih dari itu, PT Inalum telah memberikan kontribusi kepada negara melalui kegiatan ekspor aluminium, pembayaran annual fee, dana penanggulangan lingkungan, pembayaran pajak perusahaan, pajak pendapatan perorangan, pembangunan fasilitas umum, penyerapan tenaga kerja dan supply energi listrik ke jaringan listrik di wilayah Sumatera Utara. Kondisi yang optimal itu didukung pula situasi lingkungan yang stabil dan kondusif atas peran serta semua pihak, termasuk masyarakat sekitar.

Manajemen PT Inalum juga terus menjaga dan menjalankan operasional pabrik peleburan dan PLTA dengan segala daya dan upaya yang terbaik melalui sistem pemeliharaan atau perawatan, renewal, peningkatan teknologi pada fasilitas dan peralatan secara berkala, baik di pabrik peleburan maupun PLTA guna mempertahankan jumlah produksi secara efektif dan efisien.

Persoalannya, setelah ditinggalkan manajemen Jepang, apakah wajah Inalum akan berubah? Manajemen BUMN Pascanasionalisasi, Inalum ke depan akan menjadi badan usaha milik negara (BUMN) baru yang ke-142. Persoalannya, di tengah menguatnya hasrat publik agar pemerintah mengurangi jumlah BUMN-nya dengan membentuk holding untuk BUMN sejenis, akuisisi Inalum menjadi BUMN tentu antitesis dengan komitmen pemerintah sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa manajemen BUMN sendiri hingga saat ini masih melekat dengan gambaran “wajah yang berantakan” akibat kerap adanya intervensi kekuasaan dan politik.

Ini yang membuat BUMN sebagai salah satu mesin pertumbuhan ekonomi nasional menjadi tidak maksimal. Dibanding dengan seluruh nilai asetnya yang diperkirakan Rp 3.000 triliun sekarang, sumbangan BUMN hanya sekitar 12,17%. BUMN sepertinya hanya besar badannya namun hasilnya tidak seberapa. Untuk alasan ini kini menguat desakan agar negara mengembalikan kedaulatan BUMN ke negara karena ada kekayaan negara yang dipisahkan dalam tubuh BUMN. Rakyat harus tahu apa pun yang dilakukan BUMN, tidak atas nama kompetisi, persaingan, dan keuntungan lantas direksi BUMN mendapat hak istimewa untuk bertindak bebas.

Dalam hal Inalum, sudah dipastikan ada perubahan manajemen dan etos kerja dari suasana Jepang menjadi suasana BUMN. Ciri khas manajemen BUMN sendiri adalah sangat konservatif, yaitu dengan sebesar-besarnya mendapatkan keuntungan dan kerap mengabaikan faktor-faktor lainnya. Ini karena warna manajemen BUMN sendiri adalah bagian dari dinasti politik yang kental suasana pembangunan pencitraan sesaat.

Pertanyaan mendasar jika Inalum sudah menjadi BUMN, bagaimana komitmennya terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitar di Kuala Tanjung yang selama tiga dekade ini terbangun secara harmonis? Inilah pekerjaan besar Inalum ke depan yang harus dibuktikan.

Harus diingat bahwa sejak awal operasi, Inalum tetap berkomitmen menjalin hubungan yang harmonis dengan pemangku amanah terkait, dan memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar di bidang keagamaan, pendidikan, ekonomi, kesehatan, fasilitas umum, kepemudaan serta penghijauan (go green).

Selain, tentu saja, Inalum harus tetap mempertahankan kinerjanya sebagai perusahaan penghasil aluminium. Apalagi peluang ke depan sangat menjanjikan, terutama untuk industri hulu dan hilir. Hal itu mengingat produk aluminium yang saat ini sangat dibutuhkan untuk berbagai keperluan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar